Sebagai negara yang berada di wilayah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), kita haurs membentengi diri dari paham-paham atau ideologi yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan. Untuk itu kita jangan meninggalkan sejarah, seperti apa kata Bapak Presiden Seokarno bilang, Jasmerah (jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah).
![]() |
Pidato terakhir Presiden Seokarno |
Mengenal Fasisme
![]() |
Sebuah pemandangan bom Jerman yang diledakan di London, diambil dari sampul Illustrated London News |
![]() |
Anak-anak menjadi korban kediktatoran fasis berkuasa di Eropa selama masa perang dunia ke II |
![]() |
Ini adalah sebuah patung dari Romawi kuno. Dia berjalan di depan hakim Romawi dan membawa seikat tangkai di tangannya sebagai simbol kekuasaan dan otoritas. |
![]() |
Mussolini mengadopsi kapak Romawi yang melambangkan kekuasaannya. Gambar diatas adalah majalah Italia saat itu, berjudul Il Fascismo Scientifico (Scientific Fasisme). |
Fasisme, semakin ia mempertimbangkan dan mengamati masa depan dan perkembangan kemanusiaan secara terpisah dari berbagai pertimbangan politis saat ini, semakin ia tidak mempercayai kemungkinan ataupun manfaat dari perdamaian yang abadi. Dengan begitu ia tak mengakui doktrin Pasifisme – yang lahir dari penolakan atas perjuangan dan suatu tindakan pengecut di hadapan pengorbanan. Peranglah satu-satunya yang akan membawa seluruh energi manusia ke tingkatnya yang tertinggi dan membubuhkan cap kebangsawanan kepada orang-orang yang berani menghadapinya. Semua percobaan lain adalah cadangan, yang tidak akan pernah benar-benar menempatkan manusia ke dalam posisi di mana mereka harus membuat keputusan besar–pilihan antara hidup atau mati…. (Kaum Fasis) memahami hidup sebagai tugas dan perjuangan dan penaklukan, tetapi di atas semua untuk orang lain–mereka yang bersama dan mereka yang jauh, yang sejaman, dan mereka yang akan datang setelahnya.1
Garis pemikiran serupa diungkapkan oleh Vladimir Jabotinsky, yang dikenal luas sebagai wakil terpenting Yahudi Zionis, dan pendukung hak radikal Israel, yang menyimpulkan ideologi fasistik dalam pernyataannya pada tahun 1930-an:
Sangatlah bodoh orang yang mempercayai tetangganya, sebaik dan sepenuh kasih apa pun tetangga itu. Keadilan hanya ada bagi orang-orang yang memungkinkannya terwujud dengan kepalan tangan dan sikap keras kepala mereka…. Jangan mempercayai siapa pun, senantiasa berhati-hatilah, bawalah selalu tongkatmu—inilah satu-satunya jalan untuk bertahan hidup dalam pertarungan bagai serigala antara semua melawan semua ini.2
![]() |
Diktator fasis pertama abad ke-20: Benito Mussolini, memerintah Italia antara tahun 1922 dan 1944. |
Sparta: Sebuah Model bagi Kaum Fasis
Sparta adalah sebuah negara militer, yang membaktikan diri pada perang dan kekerasan, dan diperkirakan dibangun oleh Likurgus pada abad 8 SM. Bangsa Sparta menerapkan sistem pendidikan yang sangat teratur. Di bawah sistem Sparta, negara jauh lebih penting dibanding perorangan. Kehidupan rakyat diukur berdasarkan manfaat mereka bagi negara. Anak-anak lelaki yang kuat dan sehat dipersembahkan pada negara, sedangkan bayi-bayi yang sakit dibuang ke pegunungan agar mati.
(Praktik bangsa Sparta ini dijadikan contoh oleh Nazi Jerman, dan dinyatakan bahwa, oleh pengaruh kuat Darwinisme, orang-orang yang sakit-sakitan harus disingkirkan untuk mempertahankan sebuah “ras yang sehat dan unggul”.) Di Sparta, para orang tua bertanggung jawab membesarkan anak-anak lelaki mereka hingga usia tujuh tahun. Setelah itu, sampai usia 12 tahun, anak-anak ditempatkan dalam kelompok-kelompok beranggota 15 orang, dan yang paling menonjol dipilih menjadi pemimpin. Anak-anak mengisi waktu dengan memperkuat tubuh mereka dan mempersiapkan diri untuk berperang dengan berolah raga.
Melek huruf tidak dianggap penting, dan hanya ada sedikit minat terhadap musik atau kesusasteraan. Lagu-lagu yang boleh dinyanyikan dan dipelajari anak-anak hanyalah lagu tentang perang dan kekerasan. (Sangat mirip dengan pendidikan anak dari usia 4 tahun yang diterapkan di bawah fasisme Mussolini dan Hitler). Adat kebiasaan Sparta adalah mengindoktrinasi rakyatnya dalam semangat perang, dengan mengorbankan seni, kesusasteraan, dan pendidikan.
![]() |
Sparta, Negara Fasis Pertama |
Kota di Yunani, Sparta, adalah mesin perang brutal. Warga dibesarkan dari bayi menjadi prajurit yang kejam. Membaca, menulis, musik, seni dan sastra dipandang sebagai hal yang tidak penting. Budaya biadab Spartan menjadi inspirasi di balik ideolog fasis abad ke-19 dan ke-20.
Salah satu pemikir terpenting yang memberikan keterangan terperinci tentang Sparta adalah filsuf Yunani kenamaan, Plato. Meskipun ia hidup di Athena, yang diperintah secara demokratis, ia terkesan dengan sistem fasis di Sparta, dan dalam buku-bukunya menggambarkan Sparta sebagai sebuah model negara. Akibat kecenderungan fasis Plato, Karl Popper, salah seorang pemikir terkemuka abad ke-20, dalam bukunya yang terkenal The Open Society and Its Enemies, menggambarkan Plato sebagai sumber inspirasi pertama untuk rezim penindas, dan musuh bagi masyarakat terbuka. Untuk mendukung pernyataannya, Popper merujuk bagaimana Plato dengan tenang membela pembunuhan anak-anak di Sparta, dan melukiskan Plato sebagai pendukung teoretis pertama terhadap “egenetika” (gerakan peningkatan kualitas spesies manusia melalui pengendalian keturunan.):
… Golongan yang mulia harus merasa dirinya sebagai suatu ras unggul yang agung. ‘Ras para pengawal harus dijaga agar tetap murni’, kata Plato (dalam pembelaannya terhadap pembunuhan bayi), saat mengembangkan argumen rasialis bahwa kita membiakkan hewan dengan penuh perhatian namun menelantarkan ras kita sendiri, sebuah argumen yang selalu diulang-ulang sejak itu. (Membunuh bayi bukan kebiasaan orang Athena; Plato, yang melihat hal ini dilakukan di Sparta untuk tujuan-tujuan egenetika, menyimpulkan bahwa tindakan tersebut pastilah berlangsung sejak zaman dulu dan karenanya pasti baik.) Ia meminta prinsip-prinsip yang sama diterapkan untuk memelihara keturunan ras unggul, sebagaimana dilakukan peternak berpengalaman terhadap anjing, kuda, atau burung. ‘Jika Anda tak memelihara keturunan mereka dengan cara ini, bukankah ras burung atau anjing Anda akan memburuk dengan cepat?’ demikian argumen Plato; dan ia berkesimpulan bahwa ‘prinsip serupa berlaku pada ras manusia’. Kualitas-kualitas rasial yang diharapkan dari seorang pengawal atau pasukan tambahan, khususnya, seperti yang dimiliki anjing penggembala. ‘Para atlet-ksatria kita… harus waspada bagaikan anjing penjaga’, tegas Plato, dan ia bertanya: ‘Jelaslah, sepanjang berhubungan dengan kebugaran alamiah mereka untuk berjaga, tidak ada perbedaan antara anak muda yang gagah berani dan seekor anjing yang dibiakkan dengan baik.3
![]() |
Patung prajurit Sparta dan Plato yang merupakan musuh dari masyarakat terbuka (open society) |
Ketika membela model masyarakat Sparta, Plato juga mengajukan aspek lain dari fasisme, yakni penggunaan represi oleh negara untuk mengatur masyarakat. Menurut Plato, tekanan ini harus semenyeluruh mungkin sehingga rakyat tak mampu memikirkan apa pun selain perintah-perintah negara, dan bertingkah laku dalam kesetiaan yang sempurna terhadap kebijakan negara, dengan mengabaikan kecerdasan dan kehendak bebas mereka. Kata-kata Plato berikut ini, yang dikutip Popper sebagai pernyataan lengkap tentang mentalitas fasis, menggambarkan struktur tata tertib fasis:
Prinsip tertinggi di atas segalanya adalah bahwa tak boleh ada seorang pun, baik pria maupun wanita, yang tanpa pemimpin. Pikiran siapa pun tidak boleh dibiasakan berinisiatif melakukan apa pun; tidak boleh kehilangan semangat, bahkan sekadar bermain-main pun tidak boleh. Baik di masa perang maupun damai—ia harus setia mematuhi pemimpinnya. Dalam urusan terkecil pun, ia harus berada di bawah pimpinan. Misalnya, ia hendaklah bangun, bergerak, mandi, atau makan… hanya apabila diperintahkan. Pendeknya, ia harus melatih jiwanya, melalui pembiasaan yang lama, agar tidak pernah mengimpikan bertindak bebas, dan tak memiliki kemampuan untuk itu sama sekali.4
Nazi, Neo Paganisme yang Syarat Fasis
![]() |
Tempat dan upacara Nazi adalah meniru kaum pagan kuno |
Siapakah “para intelektual” yang memopulerkan fasisme Nietzschean di Jerman ini? Stefan George, salah satu penyair Jerman terpopuler saat itu, adalah seorang pencabul bocah laki-laki dan “contoh panutan” bagi “Komunitas Istimewa… “George dan para muridnya” menulis bahwa Oosterhuis dan Kennedy “membangkitkan kembali konsep Holderlin yakni Griechendeutschen (Jerman Hellenis)… Buku terakhirnya (Stephen George), Das neue Reich (Kerajaan Baru) yang diterbitkan pada tahun 1928, “meramalkan sebuah jaman di mana Jerman akan menjadi Yunani kedua”. Pada tahun 1933, saat Hitler berkuasa, ia menawari George posisi sebagai ketua umum Akademi Sastra Nazi.6
![]() |
Foto-foto kekejaman kaum fasis dalam perang sipil di Spanyol (17 Juli 1936 – 1 April 1939) |
![]() |
Odin |
![]() |
Simbol paganisme nyata yang ditampilkan pada saat upacara Nazi |
![]() |
Hitler disambut para prajuritnya dengan menampilkan simbol Swastika khas Nazi |
![]() |
Foto genosida brutal Nazi yang dilakukan di kamp-kamp konsentrasi terungkap. 11 juta orang telah dibunuh dengan metode pemusnahan massal yang mengerikan. |
Sumber:
- http://legacy.fordham.edu/halsall/mod/mussolini-fascism.asp
- Mark Bruzonsky, “Jabotinsky The Legend and Its Power”, Israel Horizons, vol. 29, no. 2, March/April 1981, p. 19.
- Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. I, The Spell of Plato, London, Routledge & Kegan Paul, 1969, p. 51.
- Karl R. Popper, The Open Society and Its Enemies, vol. I The Spell of Plato, London, Routledge & Kegan Paul, 1969, p. 7.
- Scott Lively, Kevin Abrams, The Pink Swastika, Founders Publishing Corp., Oregon, 1997, p. 19
- Scott Lively, Kevin Abrams, The Pink Swastika, Founders Publishing Corp., Oregon, 1997, p. 70